WLGYT: Tidak Semua Orang Siap Menelan Tangerines

When Life Gives You Tangerines mungkin terlihat seperti drama Korea yang menyajikan kehangatan keluarga, aroma rumah, dan momen-momen kecil yang mengisi hati. Sayangnya, tidak semua orang bisa mendekap kehangatan dan meneguk kemanisannya dengan tenang. Untuk sebagian penonton, drama ini bukan minuman segar, tapi larutan asam yang menyinggung luka lama, luka yang tak terlihat tapi terus berdenyut di dalam.

Bukan karena dramanya buruk, justru sebaliknya. Drama ini terlalu hangat, terlalu tulus, terlalu jujur. Nah, di sanalah masalahnya. Ada orang-orang yang tumbuh dalam keluarga yang tidak pernah mengerti makna “pulang.” Yang tak punya memori tentang ibu yang menenangkan, ayah yang melindungi, atau ruang aman tempat bisa jadi diri sendiri. Bagi mereka, drama seperti ini bukan pengingat akan rumah, tapi penegas bahwa mereka tak pernah benar-benar memilikinya.

Ambil contoh seorang penonton yang tumbuh bersama ibu dengan ego seluas samudra. Ibu yang tidak pernah salah dan membungkus kontrol dalam selimut kasih sayang palsu. Menyaksikan dinamika keluarga di drama ini yang memperlihatkan bagaimana sebuah keluarga saling menyentuh dalam sunyi, bisa membuat penonton seperti ini meradang. Karena di realita mereka, sentuhan itu tak pernah ada. Yang ada hanyalah perintah, tuntutan, dan kehausan validasi yang tak pernah habis.

Lalu ada penonton yang hidup dengan sosok ayah yang ada, tapi tidak benar-benar hadir. Sosok yang diam, mengalah, menguap dari segala macam momen. Drama ini menyodorkan nuansa keluarga yang (walau tak sempurna) mencoba memahami satu sama lain, tapi justru bagi penonton seperti ini, tayangan itu jadi seperti film fiksi ilmiah. “Ayah seperti itu? Mustahil.” Maka, yang terasa bukan inspirasi, melainkan alienasi. Alih-alih membuat hati hangat, drama ini membuat mereka bertanya-tanya, “Kenapa aku tak pernah mendapat versi keluarga yang seperti itu?”

Pun jangan lupakan mereka yang tumbuh besar dengan prinsip: lebih baik sendiri daripada terluka. Drama ini penuh interaksi lembut, bahasa tubuh yang penuh makna, dan percakapan yang menyembuhkan. Tapi untuk penonton yang terbiasa hidup dalam keheningan emosional, ini semua seperti bahasa asing yang menyakitkan. Mereka yang enggan memulai keluarga karena takut mengulang luka yang diwariskan, akan merasa drama ini seperti menggesek luka dengan amplas.

Ironisnya, semua ini bukan salah dramanya. Justru karena drama ini begitu berhasil menciptakan ruang emosional yang hangat dan empatik, maka ia menjadi terlalu “berbahaya” untuk penonton yang belum selesai dengan luka dalam. Ibarat makanan rumah yang lezat, tapi disantap oleh seseorang yang belum pernah merasa kenyang secara emosional, rasa nikmat itu bisa jadi menyiksa dan menyesakkan.

Maka, When Life Gives You Tangerines bukanlah drama untuk semua orang. Untuk sebagian, ini adalah pelukan hangat yang menguatkan. Tapi untuk sebagian lainnya, ini adalah jeruk yang terlalu asam, yang memaksa mereka menelan kenyataan pahit bahwa tidak semua orang punya kenangan manis untuk dibandingkan.

Namun sejatinya itu tidak apa-apa. Tidak semua drama harus ditonton semua orang. Kadang, keputusan paling sehat adalah mengakui bahwa hatimu belum siap. Bahwa bukan kamu yang lemah, tapi memang luka itu belum sembuh. Biarkan jeruk itu tetap di meja. Mungkin suatu hari nanti kamu akan siap mencicipinya, tapi tidak hari ini. Hari ini, kamu berhak memilih tayangan yang tidak mengaduk luka lama, tapi justru membiarkanmu bernapas.

Seseorang yang tak ingin jadi luar biasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *